Jakarta, CNN Indonesia

Suara azan menggema dari sebuah bangunan berlantai dua di tepi Kali Angke, Jakarta Barat. Di lantai dasar bangunan lawas itu ada tiga toko minyak wangi, yang semerbak baunya menghiasi rongga hidung.

Jika baru sekali ke daerah Pekojan, orang pasti akan menerka-terka, bangunan apa yang berbentuk rumah panggung di tepi Kali Angke itu. Namun, ketika azan berkumandang, kita akan tahu bahwa bangunan itu adalah masjid.

Langgar Tinggi merupakan nama dari bangunan unik tersebut. Tempat ibadah umat muslim satu ini tak memiliki kubah layaknya masjid pada umumnya.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pintu masuk Langgar Tinggi hanya berukuran sekitar 1,5 meter. Gerbang bermaterial besi itu nampak sudah berkarat dimakan usia.

Di atas pintu masuk terdapat papan kayu berwarna hijau tua, nama masjid tertulis dengan bahasa Indonesia dan bahasa Arab.

Pada papan berbentuk persegi itu tercatat Langgar Tinggi didirikan pada 1249 Hijriah atau 1829 Masehi.




Masjid Langgar Tinggi PekojanSuasana di dalam Langgar Tinggi, Pekojan, Jakarta Barat. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)

Perlu menaiki beberapa anak tangga untuk sampai pada area tempat ibadah. Anak tangga itu membawa siapa saja ke serambi terbuka berukuran 3 meter. Sebanyak 12 pilar bulat menyangga atap serambi ini.

Di depannya, terdapat pintu kayu dua daun dengan warna coklat tua. Kanan dan kiri pintu terpasang jendela besar berjalusi kayu bulat berukir dengan warna serupa.

Lantai masjid terbuat dari bilah-bilah papan kayu yang tebal. Begitupun dengan langit-langit masjid. Dinding masjid tampak sudah usang dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian.

Pengurus Langgar Tinggi, Achmad Alwi Assegaf menceritakan awal mula masjid ini berdiri.

Hampir dua abad lalu, banyak orang-orang Yaman berlayar menuju ke Indonesia dan mendarat di Pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta kini). Kemudian, mereka berdagang sembari berdakwah di Pekojan.

“Dulu di sini banyak orang-orang India Islam atau yang disebut Koja. Makanya disebut Pekojan. Pekojan itu asal katanya Koja. Itu orang-orang Arab berkomunitas di sini,” kata Alwi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, akhir Februari lalu.

Orang-orang Yaman memilih Pekojan sebagai pusat perdagangan lantaran lokasinya strategis yakni berdekatan dengan Kali Angke. Kali Angke merupakan jalur pengangkutan dan perdagangan yang sibuk saat itu.

Seorang saudagar asal Yaman bernama Abu Bakar Shihab lalu membangun sebuah musala dengan bentuk rumah panggung di tepi Kali Angke pada 1828.

Namun, bangunan itu tak seutuhnya difungsikan sebagai tempat ibadah. Hanya bagian atas yang dijadikan langgar atau musala, sementara bagian bawah digunakan sebagai tempat penginapan para kolega.

“Dulu belum ada yang namanya musala di atas. Jadi disebut Langgar Tinggi. Di bawah tempat penginapan-penginapan kolega dagang mereka,” ucapnya.




Masjid Langgar Tinggi PekojanAkses masuk menuju Langgar Tinggi yang ada di lantai dua sebuah bangunan lawas di Pekojan, Jakarta Barat. (CNN Indonesia/Lina Itafiana)

Kolega-kolega itu membawa berbagai macam buah-buahan untuk diperdagangkan. Hasilnya, mereka gunakan untuk berdakwah di Langgar Tinggi.

Alwi menuturkan Langgar Tinggi memiliki konstruksi yang cukup kuat, sehingga masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Fondasi Langgar Tinggi menggunakan batuan dari China berukuran sekitar 2 meter yang mengingat satu sama lain. Material ini membuat bangunan Langgar Tinggi tak mudah patah mesti ada getaran dari dalam bumi.

Sementara arsitektur Langgar Tinggi mengusung perpaduan dari gaya Arab, China, dan Portugis.

“Arsitektur ini kita campur di antaranya ada China dari warna merah kecoklatan pintunya, tiang-tiangnya. Jadi percampuran antara Arab, Cina, dan Portugis. Tiang-tiangnya Portugis,” tutur Alwi.

Alwi mengatakan bangunan Langgar Tinggi masih terjaga keasliannya sejak awal berdiri hingga saat ini. Bahkan, warna cat bangunan sekalipun tak pernah diubah.

“Kalau dicat ulang atau direnovasi oke oke aja. Tapi untuk rubah warna dan bentuk kita larang, karena mutu daripada materialnya sudah tidak ada yang sama,” kata Alwi.

Selain bangunan, kata dia, mimbar kayu berusia ratusan tahun menjadi salah satu benda unik yang dimiliki Langgar Tinggi. Mimbar itu merupakan pemberian Sultan Pontianak, Kalimantan Barat.

“Karena ini Langgar pernah dijadikan masjid sementara saat Masjid An Nawier lagi diperbaiki. Semua kegiatan masjid dipindah ke Langgar Tinggi. Sultan dari Pontianak mengirim mimbar untuk kutbah Jumat. Sampai sekarang mimbar masih ada,” kata Alwi.

Alwi mengatakan Langgar Tinggi kini tak seramai saat sebelum pandemi Covid-19. Banyak kegiatan-kegiatan di hari besar Islam yang ditiadakan. Ia sangat berharap Langgar Tinggi kembali dipenuhi para jemaah.

“Ramadan kemarin mulai lumayan. Kita di sini ada dua kali buka bersama, di tengah puasa dan akhir puasa. Khataman Al-Quran. Setelah buka bersama kita tarawih,” ucapnya.

Tulisan ini adalah rangkaian dari kisah masjid-masjid kuno di Indonesia yang diterbitkan CNNIndonesia.com pada Ramadan 1445 Hijriah

(lna/kid)

[Gambas:Video CNN]





Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *